Lintaskoran - Perusahaan pelayaran Indonesia membayar US$ 26 Ribu atau sekitar Rp 230 juta pada tentara bayaran dari Sri Lanka untuk mengawal kapal dagang RI saat melewati perairan Somalia. Peranan para pengawal bersenjata ini mutlak diminta perusahaan asuransi pelayaran. Selain itu kehadiran mereka diperlukan untuk menjamin keamanan awak kapal.
"Biaya itu untuk satu kali pelayaran. Biasanya 20 hari berlayar. Itu untuk 4 orang tentara bayaran," ujar Manager Safety and Nautical PT Arpeni Pratama Ocean Line, Samuel Sampe Lobo dalam pertemuan Masyarakat Maritim dengan TNI AL di Wisma Elang Laut, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu (1/6).
Di Indonesia, memang tidak ada perusahaan yang khusus menyediakan tentara bayaran. Tapi di luar negeri, perusahaan jasa keamanan seperti ini banyak ditemui. Mereka dinamakan PMC atau private military company. PMC merupakan lembaga sipil yang diberi wewenang kerjasama dengan unit-unit militer di dalam negerinya atau bahkan negara lain yang disetujui oleh departemen pertahanan.
Sebenarnya istilah tentara bayaran bisa dikatakan kurang tepat, karena pengertian tentara bayaran adalah kekuatan atau orang-orang tertentu yang sengaja dibayar untuk bertempur. Sementara PMC ini menyediakan jasa pengawalan bersenjata, menyediakan pelatihan militer, atau membangun fasilitas militer di daerah konflik. Mereka juga bisa diorder untuk mendrop logistik di daerah konflik. Tidak khusus disewa untuk bertempur.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) sering menggunakan jasa mereka secara resmi. Nama-nama PMC yang cukup terkenal di AS adalah Blackwater (sekarang bernama Xe), DynCorp, Military Professional Resources Inc (MPRI), Titan Corporation, dan Vinnell Corporation. Di Inggris ada Erinys International, sementara di Israel ada IPIH dan Levdan.
Rata-rata para personel kontraktor militer itu diambil dari mantan anggota pasukan khusus. Sebut saja Delta Force, Navy Seal, Ranger, Special Air Service hingga Green Berets. Personel yang pernah bertugas di daerah konflik lebih disukai. Gajinya? Rata-rata mencapai US$ 100 ribu per tahun atau Rp 870 juta per tahun.
Persenjataannya pun standar pasukan elite. Dijamin, pasukan khusus negara-negara berkembang pun akan iri kalau melihat gudang senjata milik PMC besar semisal Blackwater ini.
Wajar saja, penugasan mereka pun memiliki resiko tinggi. Namanya saja kontraktor militer, jangan harap mereka akan diorder untuk tugas-tugas yang mudah. Di Afganistan dan Irak, kontraktor militer ini ikut berperan.
Blackwater misalnya, tahun 2004 lalu, mereka kebagian kontrak dari Departemen Pertahanan AS mengantarkan bahan makanan untuk prajurit AS di Fallujah. Misi mereka tidak selalu mulus. Tanggal 31 Maret 2004, 4 pegawai kontraktor bersenjata ini diserang, mereka dibakar dalam mobilnya. Setelah itu mayat mereka digantung di jembatan Fallujah. Ini disebut salah satu peristiwa paling mengerikan dalam peperangan di Irak.
Sementara itu DynCorp diorder pemerintah AS untuk memberikan pengawalan pada Presiden Hamid Karzai di Afganistan. Mereka juga memberikan pengawalan pada bersenjata pada diplomat AS yang bepergian ke luar negeri. Saat sedang melakukan pengawalan di Jalur Gaza, 3 personel Dyncorp tewas tahun 2003.
Mungkin membuat heran, mengapa pemerintah AS sampai mengorder PMC? Masyarakat Indonesia memang terbiasa melihat TNI melakukan semua pekerjaan mulai dari mengawal VIP, membantu bencana alam, membangun fasilitas untuk umum, hingga memberikan penyuluhan soal keluarga berencana. Tapi bagi negara barat, tugas militer di medan konflik hanya bertempur. Mereka tidak mau direpoti oleh hal-hal semisal mengamankan kunjungan anggota dewan ke daerah konflik. Atau mengantarkan peralatan makan dari bandara ke markas mereka. Untuk itulah ada kontraktor militer.
Kadang kehadiran PMC juga dibutuhkan jika kehadiran militer secara resmi dianggap kurang menguntungkan. Misalnya untuk mendrop dukungan logistik atau persenjataan di Amerika Selatan. Termasuk memberi pelatihan militer pada milisi setempat. Jika yang hadir pasukan resmi AS, tentunya tidak menguntungkan secara politis dan diplomatis bagi negara Paman Sam ini.
Di daerah konflik, aturan umum tidak memperbolehkan mereka menembak kecuali untuk membela diri. Mereka juga wajib diperlakukan sebagai tawanan perang jika tertangkap, asal bisa menunjukkan kartu identitasnya. Hal ini berbeda dengan tentara bayaran yang tidak mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang jika tertangkap.
Tahun 2007 lalu, USA Today melaporkan 990 kontraktor bersenjata asal AS tewas di Irak dan Afganistan. Perbandingannya dengan tentara AS yang tewas adalah 4 berbanding 1. Ini membuktikan resiko pekerjaan mereka sama besarnya dengan gaji yang diterima.
Namun tidak semua penugasan mereka dilakukan di daerah konflik. Order untuk menjadi bodyguard atau pengawal pribadi pun oke-oke saja.
[detik.com]
No comments:
Post a Comment