Mau pintar kok mahal - Anggota Komisi X DPR Dedi Gumelar menilai, pendidikan nasional gagal membentuk watak generasi muda Indonesia. Bahkan, secara politis, menurutnya, pendidikan nasional saat ini berhenti dan tidak menunjukkan pergeseran ke arah yang lebih baik.
"Secara politis, pendidikan kita berada di lampu merah," kata Dedi, yang biasa disapa Miing, dalam audiensi antara DPR dan tim dari Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada, Rabu (27/6/2012).
Menurutnya, pendidikan formal seharusnya dapat berbanding lurus dengan pembentukan budaya dan watak anak-anak Indonesia. Sebab, pendidikan kelak dapat menjadi modal dalam membangun atau membangkitkan Indonesia dari keterpurukan.
"Semua negara bisa bangkit dari tsunami, krisis ekonomi, bahkan perang. Tapi saat kebudayaannya runtuh, maka runtuhlah bangsa itu," ujarnya.
Meski demikian, ia sedikit merasa lega. Secara signifikan pemerintah dinilai telah menaikkan anggaran untuk kebudayaan. Dari awalnya hanya Rp 300 miliar, tahun ini meningkat jadi Rp 1,2 triliun. "Awalnya kita dorong agar kebudayaan bisa mendapat Rp 5 triliun agar dapat membongkar betul kebudayaan ini," ungkapnya.
Sebelumnya, salah seorang anggota tim Pusat Studi Pancasila UGM, Cungki Kusdarjito, memaparkan, pembangunan pendidikan nasional harus dilandasi dengan kebudayaan dan Pancasila. Menurutnya, hal itu menjadi penting untuk memperjelas arah sekaligus mencegah terpuruknya pendidikan nasional yang semakin hari semakin condong ke dunia barat.
"Nilai budaya lokal harus dilaksanakan sebagai pijakan bangsa. Sekolah-sekolah juga harus mengembangkan bahasa Indonesia dan bahasa daerah sebagai bagian untuk membangun karakter bangsa," kata Cungki.
No comments:
Post a Comment